![](https://imediantara.id/wp-content/uploads/2024/08/IMG_20240815_113957-scaled.jpg)
IMEDIANTARA.ID,BOLSEL
Penulis: Bastian Korompot
Seiring dengan semakin maraknya aktivitas pertambangan di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), khususnya di wilayah Blok Bakan, potensi konflik sosial semakin mengemuka. Salah satu isu yang kini menjadi sorotan adalah ketegangan antara masyarakat lokal yang menguasai lahan perkebunan dengan PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM), kontraktor resmi yang memegang Kontrak Karya Pertambangan Emas dari Pemerintah Republik Indonesia.
PT JRBM mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No. 649 Tahun 2012 seluas 561,96 hektar. Namun, meskipun perusahaan ini telah memiliki izin yang sah, berbagai tantangan masih harus dihadapi, terutama terkait kewajiban untuk memberikan kompensasi kepada pihak ketiga yang menguasai lahan perkebunan. Kewajiban ini merupakan tanggung jawab penuh PT JRBM sebagaimana diatur dalam IPPKH berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tahun 2012.
Namun, sinyal ketidakpatuhan PT JRBM dalam memenuhi kewajiban tersebut mulai memunculkan kekhawatiran. Konflik horizontal antara perusahaan dan masyarakat mulai terasa, mengingat ketidakpuasan masyarakat terhadap lambatnya realisasi kompensasi lahan yang dijanjikan. Hal ini berpotensi memicu konflik besar jika tidak segera ditangani dengan baik.
Peristiwa pembakaran Kantor Bupati Pohuwato, Gorontalo, pada tahun lalu pada Kamis, 21 September 2023, yang diduga dipicu oleh demo massa menuntut ganti rugi lahan ke perusahaan tambang emas, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Respon cepat pemerintah dalam menyelesaikan konflik perusahaan dan masyarakat sangat diperlukan untuk meredam situasi yang berpotensi menjadi lebih buruk.
Perspektif Masyarakat Lokal
Kunu Makalalag, salah satu warga yang merasa dirugikan, mengklaim memiliki areal perkebunan di dalam area konsesi JRBM. Baru-baru ini, ia diundang oleh pihak Humas Eksternal perusahaan untuk membahas tahap persiapan eksploitasi di lahan yang menurut Kunu masih merupakan milik keluarganya. Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan yang memuaskan, dan perusahaan beralasan bahwa keputusan harus disampaikan kepada pimpinan tertinggi. Alasan ini dianggap oleh Kunu sebagai upaya untuk menghindari pembayaran kompensasi yang seharusnya diberikan.
Kekecewaan Kunu bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun, ia merasa perusahaan tidak memiliki itikad baik dalam menangani lahan yang diklaim miliknya sebelum JRBM mulai beroperasi di Bolsel.
Bahkan, beberapa bulan lalu, camp milik Kunu diduga dibakar oleh sekelompok warga, yang menurutnya terkait dengan upaya perusahaan untuk menguasai lahannya tanpa kompensasi yang layak. Meskipun insiden ini dilaporkan ke Polres Bolsel, proses hukum terhenti karena surat kepemilikan tanah yang dimiliki Kunu tidak dianggap cukup kuat sebagai bukti hukum.
Tidak hanya Kunu, warga lain seperti Yakin Paputungan juga merasa prihatin. Sebagai seorang penggarap lahan kebun yang berada di dekat lahan Kunu, Yakin menyampaikan keprihatinannya terhadap langkah-langkah PT JRBM yang berpotensi menciptakan konflik dengan warga penggarap lahan. Yakin mengingatkan bahwa saat ini masyarakat, sudah dihadapkan dengan kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), namun juga harus bersiap menghadapi dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan berizin yang berskala besar.
Salah satu pertanyaan yang paling mendasar terhadap PT JRBM, kenapa setelah keluarnya PPKH Tahun 2023 hal itu tidak pernah disosialisasikan dengan masyarakat sekitar. Apalagi disitu jelas ada poin yang menyebutkan hak – hak dari penggarap.
“Apa motifnya,”tanya Yasin.
Selain itu kata Yasin apa yang menjadi dasar PT.JRBM memberikan ganti rugi jika tidak ada data dari Pemda Bolsel yang seharusnya menjadi Fasilitator.
Yakin mendesak PT JRBM dan Pemerintah Daerah Bolsel untuk proaktif dalam menangani masalah ini, mengingat pentingnya menjaga stabilitas di wilayah yang menjadi lokasi investasi resmi Pemerintah Pusat. Ia juga mendorong Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk segera membentuk tim investigasi guna mencegah potensi konflik yang lebih besar.
Peran Pemerintah dan Pihak Terkait
Frangky Watulingas, Kabid Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, menjelaskan bahwa saat ini PT JRBM bukan lagi memegang IPPKH, melainkan PPKH berdasarkan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021. Dalam SK.361/MENLHK/SETJEN/PLA.0/4/2023, disebutkan bahwa pemberian ganti rugi tanam tumbuh difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten setempat.
Namun, sayang hingga berita ini diterbitkan,Pemda Bolsel yang diharapkan dapat memfasilitasi persoalan ini belum memberikan tanggapan resmi.
Upaya untuk menghubungi Sekda Bolsel, Arvan Ohi dan Bupati Iskandar Kamaru melalui pesan WhatsApp tidak mendapatkan respons.
Taufik Pontoh dari pihak PT JRBM juga memilih untuk tidak mengomentari persoalan tersebut.